Seminar yang
dilangsungkan di Galeri Nasional pada Selasa (8/5) ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari pameran
Seni Rupa Manifesto #3 Orde dan Konflik.
Dengan mengusung tema “Melihat Rakyat”
Perubahan, representasi, Seni Rupa, dan Masyarakat Kontemporer , Seni Rupa
dituntut untuk mengambil peran yang lebih dalam laju suatu periode kehidupan
masyarakat. Seni sebagai salah satu aspek tanding yang idealnya merupakan representasi
dari suatu jaman diharapkan tidak hanya menjadi sebuah artefak atau kepingan
sejarah dari masa tersebut. Rongrongan mendesak para seniman untuk tidak lagi
sekedar menjadikan suatu peristiwa (yang mana disitu terlibat masyarakat atau tokoh , daerah, budaya dll) sebagai ide
dasar kekaryaan tapi juga ikut bersumbangsih nyata terhadap peristiwa tersebut.
Sebagaimana dipaparkan
oleh Ade Darmawan selaku nara sumber, bahwa saat ini dengan banyaknya
komunitas-komunitas berbasis kesenian yang bermunculan mendobrak tatanan
konvensional Seni Rupa itu sendiri. Dengan ruang gerak dan sudut pandang baru
dalam berekspresi, komunitas-komunitas ini membuka wacana lain tentang Seni
Rupa. Salah satu bukti nyata dari hal tersebut adalah lahirnya ruang-ruang alternatif
dan bersifat lebih fungsional. Dalam presentasinya Ade memberikan contoh
beberapa komunitas yang secara visi misi dan geografisnya bersinggungan
langsung dengan mainstream
(masyarakat umum)
Sementara itu jika di
lihat kebelakang , secara kekaryaan Seni Rupa Indonesia memang menjadi alat
rekam dari suatu gejolak peristiwa yang terjadi dalam suatu periode tertentu.
Hilman Farid dalam pengantarnya menitik beratkan sentralisasi kehidupan rakyat
yang ia sebut Wong Tjilik . Kata Wong Tjilik juga tidak bisa dibilang suatu
konotasi dengan muatan yang positif. Wong Tjilik menjadi suatu tampilan klise yang
muncul dalam kekaryaan dan identik dengan kondisi yang tidak beruntung sehingga
rasa iba dan simpati menjadi suatu nilai jual tersendiri.
Rizki A. Zaelani
mengatakan bahwasanya orientasi kekaryaan Seni Rupa masih berkutat dalam dua
aspek, yaitu Sosial Komentar (Kritik Sosial) dan Narasi Lokal (kebudayaan).
Kedua aspek ini dinilai lawas dan masih menempatkan suatu peristiwa hanya
sebagai objek semata. Dari dua aspek tersebut kesenian masih jauh dari
harapannya untuk ikut bersumbangsih nyata terhadap masyarakat secara langsung.
Tak ada kesimpulah yang
hendak ditarik dari seminar ini. Bahkan moderator pun enggan merangkum diskusi
ini kedalam suatu kalimat penutup. Tapi yang pasti, di suatu tatanan masyarakat
kontemporer peran seni dituntut lebih
bersifat fungsional. Seniman dituntut untuk mempunyai tanggung jawab lebih
terhadap lingkungan dan masyarakat. Tidak lagi menempatkan suatu peristiwa dan
masyarakat sebagai objek dalam ide dasar kekaryaan namun juga ikut
bersumbangsih langsung terhadapnya. Bahkan dalam benak saya pribadi timbul
suatu pewacanaan baru, “Melihat Seniman”
Sumbangsihnya
dalam Perubahan, Representasi,
Seni Rupa, dan Masyarakat Kontemporer”
Teks dan Foto: Rengga Satria