KOMUNITAS BEGOENDAL

KOMUNITAS BEGOENDAL

Jalan Durian, Gg.Abdul Jabar 2, no.60 Jagakarsa, Jakarta selatan, indonesia.
begoendalisme@gmail.com
tlp.08175483067
08561329813
081315652212

Selasa, 08 Mei 2012

Seminar “Melihat Rakyat” Perubahan, representasi, Seni Rupa, dan Masyarakat Kontemporer




Seminar yang dilangsungkan di Galeri Nasional pada Selasa (8/5) ini merupakan  salah satu rangkaian kegiatan dari pameran Seni Rupa  Manifesto #3 Orde dan Konflik. Dengan mengusung tema  “Melihat Rakyat” Perubahan, representasi, Seni Rupa, dan Masyarakat Kontemporer , Seni Rupa dituntut untuk mengambil peran yang lebih dalam laju suatu periode kehidupan masyarakat. Seni sebagai salah satu aspek tanding yang idealnya merupakan representasi dari suatu jaman diharapkan tidak hanya menjadi sebuah artefak atau kepingan sejarah dari masa tersebut. Rongrongan mendesak para seniman untuk tidak lagi sekedar menjadikan suatu peristiwa (yang mana disitu terlibat masyarakat  atau tokoh , daerah, budaya dll) sebagai ide dasar kekaryaan tapi juga ikut bersumbangsih nyata  terhadap peristiwa tersebut.
Sebagaimana dipaparkan oleh Ade Darmawan selaku nara sumber, bahwa saat ini dengan banyaknya komunitas-komunitas berbasis kesenian yang bermunculan mendobrak tatanan konvensional Seni Rupa itu sendiri. Dengan ruang gerak dan sudut pandang baru dalam berekspresi, komunitas-komunitas ini membuka wacana lain tentang Seni Rupa. Salah satu bukti nyata dari hal tersebut adalah lahirnya ruang-ruang alternatif dan bersifat lebih fungsional. Dalam presentasinya Ade memberikan contoh beberapa komunitas yang secara visi misi dan geografisnya bersinggungan langsung dengan mainstream (masyarakat umum)
Sementara itu jika di lihat kebelakang , secara kekaryaan Seni Rupa Indonesia memang menjadi alat rekam dari suatu gejolak peristiwa yang terjadi dalam suatu periode tertentu. Hilman Farid dalam pengantarnya menitik beratkan sentralisasi kehidupan rakyat yang ia sebut Wong Tjilik . Kata Wong Tjilik juga tidak bisa dibilang suatu konotasi dengan muatan yang positif. Wong Tjilik menjadi suatu tampilan klise yang muncul dalam kekaryaan dan identik dengan kondisi yang tidak beruntung sehingga rasa iba dan simpati menjadi suatu nilai jual tersendiri.
Rizki A. Zaelani mengatakan bahwasanya orientasi kekaryaan Seni Rupa masih berkutat dalam dua aspek, yaitu Sosial Komentar (Kritik Sosial) dan Narasi Lokal (kebudayaan). Kedua aspek ini dinilai lawas dan masih menempatkan suatu peristiwa hanya sebagai objek semata. Dari dua aspek tersebut kesenian masih jauh dari harapannya untuk ikut bersumbangsih nyata terhadap masyarakat secara langsung.
Tak ada kesimpulah yang hendak ditarik dari seminar ini. Bahkan moderator pun enggan merangkum diskusi ini kedalam suatu kalimat penutup. Tapi yang pasti, di suatu tatanan masyarakat kontemporer peran seni dituntut  lebih bersifat fungsional. Seniman dituntut untuk mempunyai tanggung jawab lebih terhadap lingkungan dan masyarakat. Tidak lagi menempatkan suatu peristiwa dan masyarakat sebagai objek dalam ide dasar kekaryaan namun juga ikut bersumbangsih langsung terhadapnya. Bahkan dalam benak saya pribadi timbul suatu pewacanaan baru, “Melihat Seniman” Sumbangsihnya dalam Perubahan, Representasi, Seni Rupa, dan Masyarakat Kontemporer”

Teks dan Foto: Rengga Satria

Ignoring, Sebuah Representasi Artspirasi
























        Sebuah karya dari Lenny Ratnasari Weichert yang dipamerkan di acara pameran seni rupa Tritura di Taman Ismail Marzuki, Rabu (2/5).  Karya yang berjudul Ignoring ini merepresentatifkan aspirasi para buruh migrant yang tidak pernah didengar oleh pemerintah.